Menyikapi  Bencana Pandemi...

Telah beberapa hari ini, kita masih melakukan lockdown, atau berada di rumah saja, meskipun tidak 100% kita di rumah terus karena tentu saja kebutuhan kita untuk keluar rumah selalu saja ada, apakah membeli kebutuhan sehari- hari terutama makanan ataupun ada keperluan lainnya. Kalau lah mengatakan bosan terus di rumah mestilah kita lihat juga bagaimana pengorbanan garda terdepan dalam penanganan pandemi ini yaitu para dokter dan perawat yang menjadi tuntutan untuk melayani dan mendampingi yang terkena virus sekaligus mencari solusi penanganannya, yang tentu saja taruhannya bukan main-main yaitu nyawa,...  mereka mau berkorban disana, ajakan di rumah aja kiranya hanya mimpi bagi mereka. Sedangkan bagi kita di rumah saja adalah suatu keharusan, malah bisa kita sebut sebagai pengorbanan, Karena bukan tanpa alasan dengan kita mengurangi berada di luar rumah diharapkan bisa memutus rantai perkembangan virus ini, ini juga berarti kita sudah berusaha menjaga melindungi, diri kita sendiri, keluarga dan orang-orang yang kita cintai.

Karena itu janganlah membandel keluar tanpa alasan kuat kecuali perlu dan mendesak.... kadang saya merasa marah, jengkel ketika saya lihat orang-orang berkumpul hanya untuk ngerumpi, nongki-nongki sambil ketawa-ketiwi padahal para dokter dan perawat tengah berjuang menghadapi pandemi ini, kerumunan keramaian membuat virus ini semakin menyebar, kalaulah boleh saya sebut orang-orang tersebut sangat egois, mementingkan kesenangannya sendiri tanpa peduli dengan akibat yang terjadi pada orang lain....pikirkanlah kalaulah dirinya terpapar bahkan selanjutnya bukan hanya pada dirinya tapi juga mungkin kepada anak/istri/suami/orangtuanya atau orang-orang yang pernah ada kontak dengannya.

Marilah kita mau berkorban dan berjiwa besar, segala apa yang menjadi aturan para pemimpin adalah hasil daripada musyawarah yang tentu saja disana adalah para ahli yang berbicara untuk kemaslahatan bersama. Penting juga buat kita untuk memahami lagi, tentang musibah ini dari berbagai sisi, supaya kita banyak referensi yang menjadikan kita bisa bijak dalam menyikapinya.
Sering kali kita mendengar istilah “musibah” yang biasanya dilawankan dengan istilah “anugerah” atau “nikmat”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musibah berarti kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; bisa juga bermakna malapetaka atau bencana. Sedangkan anugerah atau nikmat berarti pemberian atau karunia (dari Allah) yang bersifat kesenangan. Secara umum kira-kira bisa ditarik kesimpulan bahwa musibah berkenaan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, sementara anugerah berkaitan dengan hal-hal yang  menyenangkan.

Berkaitan dengan pandemi virus corona yang sekarang sedang melanda negeri kita, mesti dianggap sebagai ujian dari Allah SWT. Hal ini sejalan dengan FirmanNya:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ، وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً، وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ. 
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian/cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyaa’ [21]: 35).
Lebih lanjut sikap terbaik menghadapi ujian berupa serangan virus corona itu yakni:
Pertama, berikhtiar menghindarinya dengan memperhatikan hukum kausalitas Sunnatullah. Misalnya, menghindari keramaian atau membuat keramaian, patuh untuk diam di rumah, harus mencuci tangan ketika akan makan atau minum , mandi atau mencuci tangan ketika datang dari bepergian.
Kedua, kita bertawakkal sepenuhnya kepada Allah setelah berikhtiar kita lakukan. Bahkan kita yakin sepenuhnya atas usaha sungguh-sungguh pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Hal ini sebagaimna firman Allah SWT:
“Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal. Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang bisa menolongmu setelah itu? Karena itu, hendaklah hanya kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (Qs Ali Imran: 59-60).
Lalu bagaimana semestinya kita  menyikapi ini?
Dalam perspektif ajaran Islam, bencana seperti serangan COVID-19 dapat dimaknai sebagai musibah yang bisa menimpa siapa saja, kapan dan di mana saja. Musibah adalah keniscayaan yang harus dihadapi oleh setiap manusia. Sebagaimana Allah tegaskan dalam alQur’an surat al-Baqarah ayat 155, yang berbunyi:


Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ayat di atas menunjukkan kepada setiap insan, musibah atau bencana adalah keniscayaan yang harus dihadapi. Bencana apapun sesungguhnya mesti dimaknai sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambanya.... karena sejatinya  dalam musibah itu mestilah ada hikmahnya.
Kapan bencana itu menjadi musibah dan kapan ia merupakan anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa jauh pelajaran dari bencana itu terserap dan berpengaruh positif pada diri seseorang, baik yang tertimpa bencana itu atau yang sekadar menyaksikannya.

Setidaknya terdapat tiga pelajaran penting dalam menyikapi suatu bencana.

Pelajaran pertama adalah muhâsabah atau introspeksi diri. Kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri kita, apa saja kekurangan dan kesalahan yang perlu dibenahi. Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi,  gunung meletus, kebakaran hutan sampai merebaknya pandemi virus Corola  adalah fenomena yang tidak bisa dikendalikan manusia. Ini bukti kelemahan manusia, dan seyogianya bencana ini menyadarkan mereka untuk kian merendah serendahnya di hadapan Allah . Bila bencana itu disadari akibat kesalahan manusia, maka seharusnya bencana ini berdampak pada perubahan sikap kita menjadi lebih baik.
Muhasabah ini penting dilakukan baik oleh mereka yang menjadi korban maupun bukan korban. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkutbah:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا فَإِنَّهُ أَهْوَنَ لِحِسَابِكُمْ

Artinya: “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesunguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).”

Pesan dari pidato Sayyidina Umar sangat jelas bahwa kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri sendiri, bukan mengevaluasi orang lain. Bagi korban, bencana adalah fase penting memeriksa dosa-dosa sendiri, tingkat penghambaan kepada Allah, pergaulan sosial, dan sikap terhadap lingkungan alam selama ini. Bagi mereka yang bukan korban dan di luar lokasi bencana, hal ini adalah peringatan bagi diri sendiri untuk kian menjaga perilaku dan sifatnya baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sekitar.

Sangat disesalkan bila ada orang yang kebetulan tak menjadi korban menuding bahwa bencana yang menimpa saudara-saudaranya di lokasi tertentu merupakan azab atas dosa-dosanya. Apalagi jika tuduhan itu dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu. Sikap yang demikian tak hanya bertentangan dengan prinsip muhâsabatun nafsi (evaluasi diri sendiri, bukan orang lain), tapi juga dapat mendorong mudarat baru karena bisa menyinggung perasaan para korban dan menunjukkan tidak adanya empati kepada korban. Terkait hal ini, Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkâr pernah membolehkan orang yang selamat dari bencana untuk mengucap syukur tapi sembari memberi catatan: harus dengan suara sangat pelan (sirr) agar tidak melukai perasaan mereka yang sedang mengalami penderitaan.

Pelajaran kedua adalah rasa syukur dan optimisme. Sikap ini berdasar pada hadits Rasulullah


Dari 'Aisyah, ia berkata, Rasulullah bersabda: "Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan." (HR. Tirmidzi)

Dalam konteks ini, bersyukur bagi para korban adalah ridha atas bencana yang menimpanya dan menilai penderitaan saat ini adalah cara Allah melebur dosa-dosanya dan menaikkan kualitas kepribadiannya. Sebagaimana ujian akhir semester bagi siswa sekolah untuk naik ke semester berikutnya, bencana merupakan ujian bagi para korban untuk bisa mendaki pada derajat yang lebih mulia.

Hadits tersebut merupakan cara Rasulullah memberikan optimisme kepada umatnya agar tidak larut secara terus-menerus dalam kesedihan, banyak mengeluh, apalagi sampai putus asa. Dalam penderitaan, kita mesti husnudh dhan (berprasangka baik) bahwa ada maksud khusus dari Allah untuk meningkatkan mutu diri kita, baik dalam ibadah (menghamba kepada Allah) maupun muamalah (hubungan sosial).

Bagi mereka yang tidak terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada karunia keamanan dari Allah kepada dirinya, sehingga tidak hanya bisa muhâsabah atas peristiwa yang disaksikannya tapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman dibanding saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Mereka juga harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan optimis menatap perjalanan ke depan.


Pelajaran ketiga adalah tentang ladang amal ibadah pascabencana. Jika bencana adalah ujian kenaikan derajat, maka kenaikan tersebut hanya terjadi bila yang bersangkutan benar-benar lulus dari ujian. Bencana merupakan wasilah bagi para korban yang isinya menuntut manusia untuk sabar, ikhtiar, tawakal, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita kembali. Kualitas kepribadian mereka sebagai hamba meningkat manakala “materi ujian” dapat dilalui dengan baik dan benar.

Bagi mereka yang tidak menjadi korban, bencana alam adalah ujian untuk menunjukkan kepedulian kemanusiaan atas mereka yang sedang ditimpa kesulitan. Pertolongan berupa tenaga, pikiran, dana, harta benda, makanan, doa, dan lain sebagainya penting disalurkan. Syukur atas keselamatan diri kita dari bencana bisa ditunjukkan dengan kesediaan berbagi kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan. Bisa dengan menjadi relawan, donatur bantuan, atau keterlibatan lainnya yang dapat meringankan beban para korban. 
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ

“Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Apabila kita mendengar kata hikmah di balik bencana, maka itu artinya terkait dengan sikap-sikap bijak kita dalam menyikapi bencana. Karena kata hikmah bermakna kebijaksanaan. Semoga bencana yang merupakan bagian dari fenomena alamiah tak menimbulkan bencana baru dalam kehidupan spiritual kita. Intinya kejadian alam memberikan pelajaran penting bagi kita untuk untuk semakin dekat dengan Tuhannya dan evaluasi diri kita dengan menaruh simpati, empati terhadap  lingkunga kita.
( Cileungsi, 11 April 2020 )

Referensi bacaan :
1. Al-Qur’anul karim
2. Kumpulan Khutbah Jumat ;

3. Mukhtarul Hadist

Komentar

Postingan populer dari blog ini